Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday, May 11, 2009

SounD

Landing Soon #10
Octora
(Project of Intimacy)
Cilia Erens
(Soundspace Jogja dan Nyepi Walk)
Rumah Seni Cemeti
23-30 April 2009


Hari ini (01/05) saya dengan teman-teman Teori Arsitektur 02 melakukan kunjungan ke Rumah Seni Cemeti. Sedang berlangsung pameran suara yang bernama “Landing Soon”.
“Landing Soon” adalah program kerjasama antara Indonesia-Belanda di bidang seni. “Landing Soon” kali ini adalah kali kesepuluh yang telah dilakukan. Mengambil tempat di Rumah Seni Cemeti, Cilia, sebagai author, mengambil tema “Soundspace Jogja” dan “Nyepi Walk”.

Cilia Erens adalah seniman Belanda yang mengisi pemeran ini. Beliau, merupakan praktisi seni sekaligus perancang perkotaan. Dia mengaku sangat menyukai dunia transisi antara art dengan architec. Kecintaannya pada suara dan pengalaman meruangnya di Jogja selama lebih kurang 3 bulan, telah menghasilkan suatu manifestasi seni suara yang setelah diolah menjadi sebuah nilai seni yang luar biasa.
Sebelumnya, Cilia juga telah berdiskusi dengan salah seorang arsitek ternama di Jogja, sekaligus arsitek Rumah Seni Cemeti, Eko Prawoto. Disini Eko menjelaskan rumah tidak sekedar ruang-ruang yang diselubungi dinding dan di atap’i. Atap rumah adalah sebuah mahkota rumah. Atap juga sebagai elemen pemisah antara ruang publik dengan ruang yang lebih privat didalamnya.

Berbekal sedikit pengalaman Celia “meruangi” Eko Prawoto, untuk memvisualisasikan kehendaknya, Cilia berdiskusi dengan Nindityo (Cemeti Author) tentang bagaimana sebaiknya pameran ini dilakukan.
Pertama Cilia menghendaki adanya atap-atap rumah konvensional / etnik Indonesia, khususnya Jogja. Lalu oleh Nindityo dipilihlah model-model tritisan sebagai “rumah” tiap suara yang telah di produksinya. Penggunaan tritisan adalah untuk menyederhanakan keinginan Cilia terhadap atap. Nindityo memberikan model tritisan karena tritisan akan terasa lebih dekat dengan manusia karena letak dan fungsinya sebagai penutup bangunan.

Pameran yang sedianya dilakukan di kebun pisang di sisi luar Rumah Seni Cemeti, oleh karena alasan apa, dipindah ke dalam ruang pamer di dalam.
Tiap-tiap tritisan dibuat semirip mungkin dengan model yang lazim di jumpai di Jogja. Penambahan lampu day light dan tritisan yang di buat lebih rendah dari pandangan mata membuat suasanya ruang di bawahnya menjadi begitu privat. Sangat cocok untuk menikmati rekaman suasana Jogja yang berhasil di tangkap Cilia.
Dengan mencoba langsung beberapa rekaman dan sedikit konsentrasi (dapat dibantu dengan memejamkan mata) atau bahkan tanpa konsentrasi pun, suara yang dihasilkan begitu riil. Sangat nyata. Hiruk-pikuk jalan raya, lengkap dengan musisi jalanan memuat saya merasa mengalami transformasi ke ruang-ruang lain.

Ada pula suara adzan saat subuh, kicau burung dan beberapa binatang hutan, desir ombak pantai, titik-titik hujan yang pecah di atap. Semua memberi atau menurut hemat saya, mampu menarik saya keluar dari sana ke tempat yang sama persis saat suara itu direkam. Ditambah penggunaan ipod sebagai media playernya, masing masing file audio yang di sajikan mampu menghipnotis dan menarik pendengar ke dunia yang lain.
Sebagai opini atau komentar saya terhadap instalasi ini adalah laur biasa. Cilia mampu menangkap secuil kondisi masyarakat di Jogja. Rekaman yang tersaji secara apik dan riil. Saya sebagai salah satu penikmat seni sangat menyukainya. Cilia mampu membawa saya jauh lebih dalam bertransformasi / berpindah ruang dari sepetak ruang pamer menjadi ditengah hiruk pikuk kota, suasana hujan, suara hutan, dan lain-lain.
Satu kritik, karena ini adalah kunjungan pertama saya ke Rumah Seni Cemeti, ada bagian ruang pamer yang sedikit sekali sirkulasi udaranya. Ditambah tiadanya pendingin udara, membuat pengunjung cepat gerah dan kurang betah berlama-lama.

Diantara sekian elemen pembentuk ruang (warna, bunyi, dan bau) bunyi adalah salah satunya. Saat mempelajari ruang di Teori Arsitektur 01, saya kurang paham, atau lebih tepatnya tidak mampu merender situasi ruang yang terbentuk karena bunyi-bunyian di otak saya. Tapi Cilia mampu melakukan 2kali lebih hebat dari saya. Ia tidak hanya mampu merender karakter suara dari berbagai ruang, tapi selangkah lebih lagi adalah manifestasi hasil render otaknya.

Menurut kuliah umum yang diberikannya, beliau memaparkan bahwa suara yang sudah saya dengar adalah pure asli. Tanpa rekayasa, kompile, kompres, dan editing yang berarti pada keorisinilan suara tadi. Jika saat proses perekaman ada 20 suara yang tertangkap, maka harus ada 20 suara pula yang terdengar di kedua sisi headset. Kira-kira seperti itulah yang diharapkan oleh Cilia.



Cemeti Art House
41, D.I. Panjaitan Street, Jogjakarta 55143, Indonesia
Telp./Fax.: +62 274 371015
Mobile: +62 8122733564
E-mail: cemetiah@indosat.net.id
Open: 09.00 a.m. - 05.00 p.m., except Sunday, Monday

0 comments:

Post a Comment