Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, March 12, 2009

What Happen with Jogja in 2020

Part1

Global Warming
Global warming atau pemanasan global, setelah dialih bahasakan ke bahasa Indonesia. Isu yang mencuat sejak satu dekade lalu, rupanya sangat menghebohkan dunia. Sampai pada puncaknya dilakukan protokol kyoto di Bali, Indonesia.
Menilik lebih dalam tentang isu pemanasan global ini, dipicu oleh beberapa negara maju, seperti Amerika, Rusia, yang kemudian disusul China yang tengah menggarap kemajuan perekonomian di negaranya.
Baca selengkapnya....
Itu adalah ilustrasi dari sebagian kecil polemik tentang pemanasan global.
Beberapa dampak populer yang digembar-gemborkan oleh ilmuan adalah naiknya suhu bumi karena akumulasi gas CO2 yang semakin meningkat. Penggunaan bahan bakar fosil dalam industri menyumbang gas CO2 paling banyak tiap tahunnya.
Seperti yang telah disampaikan (atau sekarang, isu pemanasan global dan dampaknya, telah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan) efek domino / kelanjutan yang terjadi dari banyaknya gas CO2 adalah naiknya suhu bumi. Ini terjadi karena gas CO2 bersifat ringan, jadi ia menutupi atmosfer bumi dan bertindak sebagai mantel bumi.
Radiasi panas yang diberikan matahari secara normal seharusnya kembali dibuang keluar angkasa saat malam, tapi setelah munculnya mantel CO2, panas yang seharusnya dilepas bumi ke luar angkasa terperangkap di bumi.
Berikutnya adalah mencairnya es di kutub-kutub bumi. Ini menyebabkan 2 masalah besar.
Yang pertama, semakin berkurangnya populasi beruang kutub. Semakin panas suhu bumi, semakin sedikit bongkahan es bagi si beruang untuk berpijak. Beruang kutub harus berenang bermil-mil jauhnya hanya untuk mendapati bongkahan es.
Masalah berikutnya, saat es mencair, ia akan menambah volume air laut. Tinggi air akan terus meninggi, dan menenggelamkan kota-kota, atau apapun yang ada dibawah.

Jogja 2020
Ini merupakan inti masalah yang diberikan pada kami, mahasiswa Teori Arsitektur 2. Apakah yang terjadi di Jogja (Jogja dalam pengertian merupakan bagian dari Indonesia, dan Indonesia merupakan bagian dari bumi, yang berarti pula akan ikut merasakan dampak dari pemanasan global ini.
Jogja, merupakan kota kecil yang unik. Luasnya yang tidak seberapa besar ini, di apit oleh Gunung merapi (di sisi Utara) dan pantai selatan yang menerus ke Samudra India (sebelah selatan). Lalu seorang dengan kuasa ditangannya menarik semuah sumbu yang lurus dari utara keselatan, dan meletakkan kotanya di persimpangan antara sumbu dan dua buah sungai.
 
Jogja 2020 = Tengelam..???
Seperti kebanyakan orang awam, saat ditanyai tentang pemanasan global, hal pertama yang terlintas di benak saya adalah semakin panasnya bumi yang kemudian disusul oleh naiknya permukaan air laut.
Seperti itulah bayangan yang ada di kepala saya sebelum mengerjakan tugas Teori Arsitektur 2 ini. Dalam tugas ini, mahasiswa di beri kelonggaran / kebebasan untuk menuangkan idenya, baik dalam bentuk karikatur, movie clip, poster, puisi, teks, dan sebagainya.
Berhubung saat itu saya belum membawa notebook, hal yang dapat saya lakukan adalah mengerjakan tugas yang bersifat manual. Ini menggiring saya untuk membuat cerita bergambar dengan sedikit menyindir.
 
Apartemen Vs Rumah Kumuh
Saya akan mencoba memaparkan latar belakang dan alur cerita pada project yang saya kerjakan.
Jauh sebelum saya menginjakkan kaki di bangku kuliah, saya kerap kali menjumpai berita yang menggambarkan kekuatan pemerintah yang sok kuat dengan melakukan penggusuran di sana-sini. Banyak pula alasan yang dilontarkan mereka. Ada yang mengatas namakan ketertiban umum sampai dampaknya bagi lingkungan.
Disini saya akan menyoroti pada satu alasan pemerintah, yaitu dampak bagi lingkungan.
Banjir yang kerap kali melanda kota Jakarta tiap tahunnya saat musim hujan, hampir selalu dari luapan sungai Ciliwung. Mungkin ini tidak hanya terjadi di Ciliwung dan sekitarnya, tapi melanda seluruh kota-kota padat penduduk di Jawa khususnya.
Karena desakan ekonomi yang sedemikian sulitnya, memaksa banyak kepala keluarga tidak mampu dan tidak berkemampuan untuk bekerja layak datang memadati kota-kota besar seperti Jakarta.
Dewasa ini Jakarta telah berkembang menjadi Megapolitan. Dimana banyak sekali atau hampir 100% roda perekonomian Indonesia berpusat di sana. Ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi memekarkan Jakarta dengan sangat pesat dan sumber capital yang luar biasa, di sisi lain momok yang amat menakutkan sementara terjadi di Jakarta. Dimana luas lahan sangat-sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk + perantau yang tinggal di Jakara. Jumlah penduduk semakin meningkat, sedang luas lahan hanya segitu-segitu saja (atau mungkin semakin menciut tiap tahunnya akibat pemanasan global). Keadaan ini diperparah oleh kemampuan ekonomi dari para perantau tadi yang di bawah standar hidup Jakarta. Lengkaplah sudah momok ini.
Mereka mulai membagi diri masing-masing. Ada yang tinggal di kolong-kolong jembatan, tepian rel, tepian & bantaran sungai, TPA, dan tempat-tempat kumuh lain.
Disini pemerintah menuding pembawa banjir di Jakarta selain faktor alam (hujan) adalah banyaknya manusia yang bermukim di tepian sungai.
Begitu masuk musim hujan, pemerintah langsung menertibkan warga yang tinggal di tepian sungai dengan menggusur paksa. Senjata andalan pemerintah adalah “Tanah ini harus bersih dari pemukiman”. Seolah-olah, pemerintah hanya punya satu cara untuk mengatasi banjir. Yaitu menggusur mereka yang tinggal di sekitaran sungai.
Disisi lain, pemerintah malah memuluskan tender bagi pengembang untuk “menanami” Jakarta dengan apartemen-apartemen mewah, hotel, mall, perumahan elit; yang sudah pasti tidak terjangkau oleh kaum urban seperti mereka.
Disini pun akan timbul setidaknya 2 masalah besar lagi. Pertama mereka yang tersingkir dari tempat mereka, akan kembali ke habitat mereka di tepian sungai. Yang kedua, dengan semakin banyaknya apartemen, mall, perumahan elit, akan memakan tempat. Karena tiap bangunan yang didirikan memerlukan site. Penambahan / pembukaan lahan ini berarti semakin menghilangkan open space dan daerah-daerah resapan air. Jadi air hujan, tidak lagi dapat terserap ke dalam tanah, tapi hanya mengalir bebas diatas.
Entah karena alasan apa, Sepertinya pemerintah lebih berpihak pada pengembang dengan meloloskan proyek mereka. Proses normalisasi sungai seolah menjadi rutinitas tahunan pemerintah.
Kira-kira seperti itulah singkatnya latar belakang pekerjaan saya. Sebanarnya jika mau diuraikan lebih detail, akan menjadi satu postingan sendiri.
 
Alur cerita
Dari informasi yang saya punya, saya mulai menterjemahkannya ke dalam konteks “Jogja” dan mengoverlay kan dengan pemanasan global.
Kira-kira seperti inilah:
1. Berita / info normalisasi sungai
Kadang / malah sering tanpa pemberitahuan, persetujuan, ganti rugi.
2. Penggusuran yang dilakukan satpol PP
3. [sisi lain] Pembangunan besar-besaran apartemen & mall
4. Ironi normalisasi sungai vs apartemen
5. Dampak -- “Global Warming” -- banjir
Dampak banjir / tenggelamnya Jogja ada dua faktor. Pertama karena keserakahan manusia dalam membanguni bumi, ditambah semakin tingginya air laut karena mencairnya es.



CONTINUITYandCHANGE
Teknik Arsitektur UK Duta Wacana
©2009 Teori Arsitektur
Imelda-Setyo

0 comments:

Post a Comment