Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, December 18, 2010

Kota Investasi Sebagai Utopia Kota Semarang


Johannes Wiryawan | 21081289
Fakultas Teknik, Prodi Arsitektur
Universitas Kristen Duta Wacana


 


Abstrak
Pencarian tentang good city telah membawa kepada konsep tentang sesuatu yang ideal. Sesuatu yang “ideal” ini akan sangat sulit dicapai dimana ia telah menjadi kompleks dan berbenturan dengan kriteria ideal lain. Dalam pemahaman tentang utopia digambarkan mengenai banyak konsep kesempurnaan. Utopia dalam perencanaan kota juga sejalan dengan pencarian akan good city. Dalam paper ini digunakan utopia ekonomi untuk mengembangkan Semarang menjadi kota ideal di masa mendatang. Investasi dipilih sebagai acuan untuk menjadi dasar pertumbuhan kota. Karena dari investasi, semua sektor mulai pariwisata, niaga, budaya, pendidikan, dsb dapat lahir, tumbuh, hingga berkembang.
Kata kunci : Semarang, kota, utopia, good city, ekonomi, investasi

Kota yang Baik Sebagai Kota yang “Ideal”
Berbicara mengenai kota, tentu tidak lepas dari yang namanya manusia. Kota tidak terbentuk secara fisiknya saja. Bangunan, gedung-gedung, jalan, maupun infrastruktur lain; tapi juga menyangkut manusia sebagai pelaku sekaligus penghuni kota tersebut. Manusia sebagai pelaku membentuk interaksi dengan sesamam manusia, alam, dan budaya.
Menurut Le Corbusier, kota yang baik adalah kota yang memiliki jejering sirkulasi yang jelas. Memiliki pola keteraturan (mudah dilihat melelui foto udara). Selain itu kota yang baik juga harus memiliki pembagian zona fungsi dengan jelas.
Lorenz mengemukakan kota yang baik adalah kota yang terbentuk secara organik. Karena elemen pembentuk kota akan bersifat dinamis dan menyebar sesuai kehidupan  masyarakat.
Lima elemen kota yang ideal dipaparkan oleh Kevin Lynch dalam bukunya “Good City Form”, vitality, sense, fit, access, control. Masih dalam bukunya, Kevin Lynch masih menambah 2 aspek lagi untuk melengkapi kelima eleman tadi. Dua aspek yang ditambahkan Kevin Lynch adalah effisiency dan justice.
Masih oleh Kevin Lynch, ia juga mencoba menemu-kenali kota yang baik bedasar beberapa hal, seperti: timing of use, origin and destination, grid, dan pattern.
Dari sedikit uraian mengenai kota yang baik, definisi mengenai kota yang baik menjadi sangat subjektif. Ia menjadi baik dengan kriteria 1, tapi belum tentu baik dengan kriteria lainnya. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pencarian mengenai kota yang baik membawa kepada konsep yang “ideal”.

Utopia Sebagai Hasrat Perkembangan Kota
Utopia dapat didefinisikan secara sederhana menjadi sesuatu yang ideal, sempurna bagi komunitas atau masyarakat. Utopia juga sebagai cita-cita golongan untuk menjadi yang lebih baik.

 
Variasi utopia yang dikutip dari wikipedia meliputi: Ekologi, Ekonomi (didasarkan pada ekonomi, dibentuk sebagai tantangan terhadap kondisi ekonomi modern, pasar bebas), Politik dan sejarah, Agama, Feminisme, Utopisme
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, dalam utopia menyinggung banyak konsep mengenai kesempurnaan. Rupanya teori utopia dapat di sinergikan dengan pemahaman tentang good city menjadi sebuah cita-cita bersama membentuk kota yang lebih baik. Baik secara fisik, baik secara psikis, sosial, budaya, religi, ekonomi, dsb.

Lahirnya Kota Semarang
Gambar 2. Map the Face of Semarang 1775 - 1780
 
Beberapa abad yang lalu penamaan suatu daerah (kota, dusun, kampung, sungai, gunung) berdasarkan pada ciri khas daerah itu, keadaan alam atau pemandangan mencolok di sekitarnya (Liem 1933:2; Budiman 1978:82). Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa Naskah KBG NR.7, lahirnya Kota Semarang diawali pada tahun 1938 saka (1476 M), dengan datangnya utusan Kerajaan Demak (Ki Pandan Arang) yang mengemban tugas pengislaman di wilayah barat Kerajaan Demak, di semenanjung Pulau Tirang (sekarang daerah Mugas dan Bergota, Semarang) (Liem 1933, Budiman 1978). Sesampainya di daerah ini, ia mendirikan pesantren. Di daerah yang subur ini tumbuh pohon asam (Jawa: asem) yang masih jarang (Jawa: arang). Muridnya dari waktu ke waktu semakin banyak, dan tempat itu kemudian semakin dikenal banyak orang: daerah asem-arang, Semarang.
Sebagai wilayah pemukiman, sebelum Ki Pandan Arang menginjak Pulau Tirang, pada abad ke-15 orang dari Cina telah bermukim di daerah ini. Orang Cina pertama yang datang ke Semarang ialah Sam Po Tay Djin (Liem 1933:1-2). Bukti yang ditinggalkannya adalah klenteng Sam Po Khong, di daerah Gedung Batu, Simongan. Para pendatang dari Cina itu bermukim di sekitar klenteng tersebut. Tetapi, adanya Perang anti Cina di Batavia, 14 Juni-13 September 1741, mereka berpindah ke Kampung Pecinan. Pada abad ke-17 dengan ramainya perdagangan, berdatanganlah pedagang dari negeri Cina, Arab, Gujarat ke Semarang.
(Sejarah kota Semarang menurut Wijono 2005:150, Kota Lama Kota Baru)

Heterogenitas Semarang
Kekayaan etnis di Semarang tidak datang dengan sendirinya. Dapat dibaca dari sejarah kota, Semarang telah memiliki kekayaan etnis yang luar biasa bahkan sebelum Semarang menjadi kota.
Ini berawal dari banyaknya masyarakat (Cina, Arab, India) datang ke Semarang untuk mencari penghidupan. Tentunya mereka telah membentuk komunitasnya sendiri. Tahun 1476 datang Ki Pandan Arang untuk menyiarkan agama Islam. Ini masi ditambah dengan masa kolonial dimana orang eropa juga masuk menduduki Semarang.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Semarang 1850-1941



Suku Bangsa / Tahun
1850
1890
1920
1930
1941
Pribumi
20,000
53,974
126,628
175,457
221,000
Cina
4,000
12,104
19,720
27,423
40,000
Timur asing (non Cina)
1,850
1,543
1,530
2,329
2,500
Eropa
1,550
3,565
10,151
12,587
16,500
Jumlah
27,400
71,186
158,029
217,796
280,000
Sumber : Brommer dan Setiadi (1995:23)




Pergeseran tempat oleh kaum pendatang diawali dengan orang pribumi yang menjual dan atau menyewakan lahannya. Orang-orang Eropa menempati tempat-tempat strategis, sedang pribumi semakin terpinggirkan.

Sebaran Pemukiman di Semarang
Oleh pemerintah kolonial, perbedaan etnik ini tidak disikapi untuk mencapai sebuah persatuan. Perbedaan etnik ini justru digunakan sebagai pengelompokan hidup, terutama pemukiman. Kebijakan diskriminatif Pemerintah Hindia Belanda dipakai hampir disemua lini kehidupan di Semarang. Baik dari tata pemukiman, sosial, ekomomi, sampai politik.
Oleh pemerintah, masyarakat di Semarang dibedakan menjadi 3 ras. Ras pertama ditempati oleh orang Eropa. Mereka menjadi kelas no 1 dikalangan masyarakat. Mendapat segala kemewahan dan segalanya. Dalam pemukiman memiliki rumah permanan, menempati tempat-tempat strategis di kota. Dekat pusat layanan seperti jalan besar, sekolah, pasar, pelabuhan.
Golongan kedua ditempati oleh orang Cina dan Timur Asing. Sedikit mirip dengan kelas 1. Yaitu memiliki bangunan permanen. Tapi kondisi mereka memprihatinkan. Lingkungan mereka kotor, kekurangan air bersih. Pada kelas ini terjadi kantung-kantung pemukiman. Cina membentuk Kampung Pecinan, India membentuk Pekojan, Arab dengan Kampung Kaumannya.
Yang terakhir ditempati oleh orang pribumi. Kelas ini menjadi kelas paling rendah diantaranya. Bangunan terdiri dari bambu dengan dinding gedhek. Rumah mereka berhimpitan, kotor, sanitasi buruk, sumur terlalu dekat dengan WC.
 
Semarang Menjadi Pilihan Investasi
Investasi tidak sekedar menanamkan modal kesuatu tempat atau perusahaan secara sembarangan. Kesalahan dalam memilih lokasi investasi dapat berakibat buruk bagi investor sendiri. Setidak-tidaknya ada beberapa hal yang patut diperhatikan para investor dalam menanamkan modalnya, diantaranya: ketersediaan bahan baku, kelengkapan sarana dan prasarana, akses perbankan, orientasi masa depan (hanya produksi, atau juga pasar), infrastruktur, layanan publik, dan kepastian hukum. (Derom Bangun, Steve Sondakh).
Semarang sebagai ibukota Jawa Tengah sebenarnya telah memiliki potensi besar untuk menjaring investor. Semarang terletak pada posisi strategis dijalur Pantura dan sebagai simpul nasional maupun regional.
Gambar 4. Skema Semarang sebagai Simpul Nasional
 
Simpul nasional karena Semarang memiliki pelabuhan dan bandara internasional. Semarang juga dilewati oleh jalur pantura, dimana pantura juga menghubungkan semarang dengan Jakarta sebagai ibukota negara. Semarang sebagi simpul regional, Semarang memiliki hinterland yang lebih dikenal dengan Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, dan Purwodadi).

Utopia Investasi
Pemukiman
Jika mencermati arah kecenderungan pertumbuhan fisik Kota Semarang lebih condong ke potensi pemukiman.
-     Selatan (Banyumanik), potensi pemukiman
-     Barat Daya (Mijen, Gunungpati), potensi agraris, pemukiman, lahan
-     Barat (Ngaliyan, Tugu) potensi industri
-     Timur (Genuk), potensi industri
-     Tenggara (Pedurungan), potensi pemukiman

Potensi yang masih cukup besar di Semarang adalah pemukiman. Peluang investasi terbuka di beberapa sektor, seperti: properti, pembangunan perumahan, fasilitas pendukung hunian, dsb.

Pariwisata
Gambar 5. Pola hubungan investasi pemukiman dari sejarah kota
 
Sektor pariwisata di Semarang sebenarnya juga tergolong besar. Pada paper ini sektor pariwisata dipersempit disekitaran Kota Lama. Selain masih menarik garis dari sejarah kota, kawasan Kota Lama menyimpan warisan budaya yang sangat kaya. Dimana bangunan-bangunan besar menjadi gagah dizamannya, juga masih dapat menggambarkan pola kehidupan dimasyarakat.

Kesimpulan
Dalam tujuan untuk mencapai utopia ekonomi, maka Semarang dapat bergerak lewat investasi untuk memajukan ekonomi guna kesejahteraan masyarakatnya.
Dipilih investasi karena strategi ini dianggap paling efisien, cepat, dan relatif aman untuk mengembangkan kota. Investor menyediakan modal, kota memberi lahan dan sumber sada, manusia mengolah dan memutar roda perekonomian menjadi siklus ekonomi. Selama semu pihak diuntungkan, dan tidak ada mata rantai yang putus, kehidupan perekonomian Semarang dapat terus berkembang menjadi sempurna. Pelaku usaha mendapat modal menjalankan usahanya, mampu membuka lahan pekerjaan, mengurangi kemiskinan.

Referensi
Lynch, Kevin. (1981). Good City Form. Cambridge Mass: Masachusetts Institude of Techhnology.
Muspriyanto, E., Rohman, S., Budianto, D. C. T., Hariwoto, B., Fahmi, M. M. (2006). Meretas Masa. Semarang Tempo Doeloe. Semarang: Terang Publishing.
Wijono, Radjimo S.. (2005). Pemukiman Rakyat Di Semarang  Abad XX: Ada Kampung Ramah Anak. Kota Lama Kota Baru. Jakarta: Ombak.

0 comments:

Post a Comment